Pages

Ads 468x60px

Labels

Sabtu, 23 Juli 2011

Resume Buku Paulo Freire

BAB 4 Pendidikan untuk kaum tertindas Paulo Freire

SEBUAH RESUME

Bab ini membahas mengenai pentingnya keberadaan dialog antara pemimpin dengan kaum tertindas dalam berbagai bidang terutama pendidikan. Dialog penting dilakukan agar rakyat tidak hanya menjadi objek pemimpin tapi juga menjadi pelaku dalam pelaksanaan sendi-sendi kehidupan. Hal ini penting untuk ditekankan karena ada suatu penegasan jika manusia adalah makhluk praksis berbeda dengan binatang yang hanya makhluk berbuat, karena binatang tidak berkarya dan hidup dalam keadaan yang tidak bisa mereka lampaui selain yang biasa mereka lampaui. Manusia melakukan tindakan dan refleksi; inilah yang disebut dengan makhluk praksis.
Para pemimpin bertanggung jawab untuk tidak menghalangi kepraksisan rakyatnya, karena pemimpin yang berusaha menghalangi sama juga dengan mengikis kepraksisan dalam dirinya sendiri. Salah satu cara pemimpin untuk bisa mengakomodasi kepraksisan rakyatnya adalah dengan cara melakukan dialog. Jika pemimpin benar-benar bertujuan untuk mengabdi kepada rakyatnya maka mereka tidak akan memaksakan kehendak, ataupun tidak mendominasi. Sebaliknya para pemimpin yang tidak bertindak dialogis kepada rakyatnya sama saja dengan meniru watak dominator dan bukan revolusioner sejati. Karena sejatinya keikutsertaan kaum tertindas adalah sesuatu yang esensial dalam sebuah proses perubahan.
Hal-hal di atas juga berlaku dalam dunia pendidikan, bahwa dialog sangat penting dilakukan dalam hubungan guru dan siswa. Jika guru hanya bertindak memaksakan apa yang ingin ia berikan kepada siswa tanpa melakukan dialog terlebih dahulu dengan siswa mengenai apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan maka pendidikan yang terjadi tidak lebih dari pengulangan cara kerja yang diajarkan oleh guru kepada siswa. Siswa hanya akan jadi objek peniru bukan subjek yang mempunyai hak untuk ikut melaksanakan proses pendidikan.
Perlu diketahui jika ketidakmanusiawan kaum penindas dan kaum revolusioner juga sama-sama menggunakan ilmu pengetahuan. Tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh kaum penindas bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas sebagai “ benda” untuk kepentingan ilmiah belaka. Oleh karena itu kaum tertindas harus ikut terlibat dalam proses revolusi agar mereka tidak dijadikan objek kepentingan ilmiah saja.
Tidak dibenarkan melakukan revolusi humanisme ilmiah yang mengatasnamakan revolusi, sehingga kemudian memperlakukan kaum tertindas sebagai objek untuk dianalisi dan atas dasar analisis itu kemudian mereka memberikan cara-cara untuk melakukan sesuatu kepada kaum tertindas tersebut. Karena dengan melakukan hal tersebut sama saja dengan menjatuhkan diri kita kepada salah satu ideologis kaum penindas yaitu pemutlakan kebodohan.
Kaum penindas menganggap bahwa kaum tertindas itu selamanya bodoh dan menggolongkan kaum penindas ke dalam kelas dimana mereka merasa lebih pintar, serba mengetahui dan terlahir untuk mengetahui sesuatu. Dengan demikian mereka menganggap orang lain berbeda. Para pemimpin revolusi yang ilmiah dan humanis tidak akan percaya dengan ideologi tersebut. Mereka tidak dapat mempercayai jika hanya mereka saja yang mengetahui sesuatu dan rakyat tidak. Karena jika hal itu terjadi berarti pemimpin meragukan rakyatnya.
Sebagian meragukan jika dialog dapat dilakukan sebelum merebut kekuasaan terlebih dahulu. Mereka menolak tata cara pendidikan kritis yang pada akhirnya menjadi menolak kualitas pendidikan sebagai suatu hasil dari revolusi dan aksi kebudayaan. Karena dipihak lain mereka berusaha mengacaukan aksi kebudayaan yang ada dengan pendidikan baru yang akan disahkan segera saat kekuasaan tengah mereka pegang. Oleh karena itu akan menjadi naif jika kita mengaharapkan kaum penindas untuk bisa memberikan atau minimal mengakui pendidikan yang membebaskan. Hal itu pulalah yang akhirnya melatarbelakangi mengapa harus terjadi sebuah revolusi, yaitu agar tercapai suatu kebebasan.
Revolusi muncul dari keadaan subyektif, dimana kaum revolusioner berusaha untuk menggeser situasi penindasan dengan membangun suatu masyarakat manusia dalam proses pembebasan yang terus menerus. Sifat mendidik dan dialogis dari revolusi juga menjadikannya sebagai “revolusi kebudayaan”. Sifat mendidik inilah sebagai alat yang penting untuk mencegah penyalahgunaan revolusi, menghindarkan revolusi dari bahaya-bahaya birokrasi. Maka proses revolusi sendiri bersifat pendidikan.
Ciri- ciri kebudayaan antidialogis
Penaklukan
Salah satu sifat utama dari ciri budaya antidialogis adalah penaklukan. Manusia yang memiliki paham antidialogis akan berusaha mencari cara untuk selalu menaklukan orang lain untuk kemudian bisa memenuhi dan mengikuti pemikiran dan keinginannya. Penakluk akan memaksakan kehendaknya kepada orang yang berhasil ia taklukan dan akan menganggap mereka sebagai miliknya.
Keinginan untuk menaklukan senantiasa terdapat dalam tindakan antidialogis. Untuk bisa menjalankan penaklukan maka kaum penindas akan berusaha untuk melenyapkan kualitas manusia sebagai “alat pertimbangan dunia”. Namun karena kaum penindas tidak mampu untuk melenyapkan semuanya maka mereka berusaha untuk menciptakan dunia palsu bagi pikiran-pikiran mereka (kaum tertindas) agar keterasingan dan kepasifan mereka bertambah. Kaum penindas mengembangkan suatu metode yang menghindarkan penampakan dunia sebagai suatu masalah yang harus dihadapi namun dunia ditampilkan sebagai sesuatu yang sudah jadi dan begitu adanya sehingga manusia hanya diharuskan untuk menyesuaikan diri sebagai penonton.
Merupakan keharusan bagi kaum penindas untuk mendekati kaum tertindas agar dapat membuat mereka tetap pasif melalui penaklukan. Namun penaklukan ini tentu saja bukan melalui cara melibatkan rakyat, tapi melalui komunikasi sejati. Kaum penindas akan berusaha menyebarkan mitos-mitos seperti kebebasan, pendidikan universal, usaha dan pekerjaan. Yang kesemuanya itu tak lebih dari iming-iming penguasa yang tak pernah dijalankan dalam keadaan yang sebenarnya.

Pecah dan kuasai
Setelah minoritas penguasa bisa menaklukan kaum mayoritas maka mereka akan berusaha memecah belah rakyat agar mereka bisa mempertahankan kekuasaannya. Untuk melemahkan kaum tertindas adalah dengan cara mengucilkan mereka, dan semakin memperlebar jurang pemisah antar mereka.
Cara lain untuk melakukan penindasan adalah dengan cara “pelatihan-pelatihan kepemimpinan”. Kaum penindas melatih beberapa pemimpin dalam rakyat dan memberikan pikiran-pikiran yang harus dikembangkan lagi ke masyarakat yang dimana isi pikiran itu tidak lain adalah cara untuk mengekang dan menindas mereka. Karena perlu diketahui jika kaum penindas tidak akan memajukan rakyatnya secara keseluruhan namun hanya para pimimpin atau pemuka yang dipilih. Hal ini dilakukan untuk tetap memelihara keterasingan dalam masyarakat serta menghambat munculnya kesadaran serta keterlibatan kritis rakyat dalam realitas total.
Manipulasi
Dengan cara memanipulasi elit penguasa akan berusaha membuat rakyat menyesuaikan diri dengan keinginan-keinginan dan tujuan mereka. Semakin rendah eksadaran politik rakyat maka akan semakin mudah mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya.
Serangan budaya
Merupakan ciri terakhir dari budaya antidialogis. Dalam hal ini kaum penindas berusaha menyusup dalam suatu kelompok kebudayaan tertentu dan tanpa menghiraukan potensi kebudayaan itu sendiri lalu memaksakan pandangan dunianya sendiri kepada orang-orang yang mereka serang dan menghambat kreativitas kaum terserang dengan mengendalikan ungkapan-ungkapan kejiwaan mereka.
Penaklukan kebudayaan mengakibatkan ketidakmurnian kebudayaan dari mereka yang diserang. Mereka kemudian melayani nilai-nilai dan patokan tujuan kaum penyerang. Agar serangan kebudayaan berhasil makan hal penting adalah membuat kaum terserang yakin akan inferioritas instrinsik mereka. Dengan begitu maka mereka akan mengakui superioritas kaum penyerang.
Ciri-ciri kebudayaan dialogis
Kerjasama
Dalam tahap manapun pada proses revolusi tidak bisa mengesampingkan proses persekutuan yang pada akhirnya akan melahirkan kerjasama yang akan membawa rakyat dan pemimpinnya bersatu dalam satu tujuan. Karena itu kerja sama merupakan salah satu ciri kebudayaan dialogis yang penting untuk dikembangkan.
Persatuan untuk pembebasan
Dalam teori dialogis para pemimpin harus menyerahkan dirinya bagi usaha untuk mempersatukan kaum tertindas. Untuk menciptakan persatuan diantara mereka memerlukan suatu bentuk aksi kebudayaan yang akan membuat mereka mengetahui mengapa dan bagaiman mereka melekat pada realitas. Dengan demikian usaha untuk mempersatukan kaum yang tertindas tidak hanya berakhir pada slogan-slogan saja.
Organisasi
Adalah usaha para pemimpin untuk mengorganisasi rakyatnya dan menuntuk kesaksian dan kesetiaan bahwa persatuan adalah suatu tugas bersama yang harus dijalankan bersama.
Semua kesaksian yang murni bersumber dari pengetahuan sejarah yang memadai, dan kebernaian menempuh resiko, termasuk kemungkinan bahwa pemimpin tidak akan selalu memperoleh dukungan rakyat.
Sintesa kebudayaan
Aksi kebudayaan yang dilakukan harus senantiasa menjadi suatu bentuk yang tindakan yang sistematis dan terencana yang ditujukan pada struktur sosial, baik dengan tujuan melestarikan atau mengubahnya.

REVIEW
Pendidikan kaum tertindas ternyata sangat dipengaruhi oleh bagaimana suatu politik dijalankan oleh para pemimpinnya. Jika pendidikan dijalankan tanpa adanya proses dialogis yang jelas antara pelaksana pendidikan dengan pemimpin yang bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan maka hanya akan melahirkan suatu sistem dominasi kekuasan. Pendidikan akan diarahkan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang.
Kaum tertindas akan semakin tertindas jika tidak mau meningkatkan kesadaran politiknya. Karena semakin rendah kesadaran politik seseorang maka akan semakin mudah untuk ditaklukan atau dikuasai. Oleh karena itu diperlukan adanya gerakan revolusi yang bersumber dari sikap saling bekerjasama, persatuan dan kesadaran akan pembebasan.
Jika kita bandingkan situasai pendidikan beberapa puluh tahun yang lalu dengan yang sekarang maka pendidikan kaum tertindas itu memang masih ada. Jika dulu penindasan dilakukan oleh para pemimpin dengan cara menerapkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang tak bisa dibantah oleh rakyat maka sekarang sebenarnya sama saja hanya dengan cara yang lebih tersamarkan. Sekarang penindasan pendidikan lebih diarahkan pada pengkomersilan pendidikan oleh beberapa pihak yang berkuasa. Pendidikan dibuat mahal dan kerap kali dipolitisir untuk kepentingan suatu pihak.
Pendidikan dibuat mahal dan pada akhirnya hanya mampu diakses oleh golongan tertentu dan membuat kaum tertindas semakin tenggelam dalam keadaannya tanpa pendidikan.


NURLATIFAH MAHFUDZ BK FIP UNJ

1 komentar: